Selasa, 17 Mei 2011

Kajian Peleksaan Kurikulum di SMA

BAB I
PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya
disingkat sebagai UU Sisdiknas 20/2003.
Program pendidikan nasional diharapkan dapat menjawab tantangan, harapan, dan
tantangan yang akan dihadapi oleh anak bangsa baik pada masa kini maupun masa yang
akan datang. Pendidikan di masa depan memainkan peran penting sebagai tonggak
fundamental bangsa untuk meraih cita-citanya. Menghadapi masa depan yang sudah pasti
diisi dengan arus globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi yang sedemikian
pesat mengharuskan perlunya perancangan di sektor pendidikan secara tepat. Dunia
pendidikan nasional harus mampu melahirkan generasi dengan sumber daya manusia
yang unggul agar bisa menghadapi tantangan di masa depan tersebut.
Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang
dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan
prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Salah satu dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pengembangan dunia pendidikan
nasional Indonesia di masa depan adalah kebijakan mengenai kurikulum karena
kurikulum merupakan jantung dunia pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan
kurikulum di masa depan secara tepat perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia sehingga dapat bersaing di era globalisasi tersebut.
Posisi, fungsi, dan kurikulum suatu lembaga pendidikan adalah suatu konsep masyarakat
mengenai cara mempersiapkan anggota masyarakat dalam perannya di masa mendatang.
Fungsi suatu lembaga pendidikan merupakan harapan atau keinginan masyarakat dalam
mendidik generasi muda sehingga mampu berperan dalam mempertahankan nilai-nilai
yang dianggap baik, memperbaiki nilai-nilai lama menjadi nilai yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat, dan mengembangkan nilai-nilai baru yang berguna bagi
masyarakat. Fungsi suatu lembaga pendidikan terus berubah dan berkembang sesuai
dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Masyarakat yang berkembang
menuntut fungsi baru yang mungkin sama tetapi lebih tinggi derajatnya dibandingkan
sebelumnya atau fungsi baru yang sama dalam derajat sebelumnya tetapi memiliki
dimensi yang berbeda. Tuntutan masyarakat tersebut dapat pula merupakan kedua-duanya
yaitu mempertahankan apa yang sudah ada ditambah dengan dimensi baru yang
diperlukan masyarakat.
Tuntutan masyarakat disebabkan adanya perubahan nilai dalam masyarakat, perubahan
sistem sosial, perubahan dalam perekonomian, perubahan politik, perkembangan dalam
ilmu dan teknologi, perubahan kebijakan pendidikan, dan berbagai masalah yang terjadi
dalam dunia internasional. Perubahan sistem sosial merupakan perubahan yang dirancang
secara sistematis agar terjadi tetapi perubahan sistem sosial itu dapat pula terjadi karena
berbagai faktor yang tidak dalam kontrol dan tidak direncanakan.
Adanya gejala sosial yang mudah bergejolak dalam kekerasan, merusak (destructive),
ancaman disintegrasi terhadap kesatuan bangsa, adanya ekslusivisme
kesukuan/provinsialisme yang semakin kuat adalah kenyataan yang harus dihadapi
masyarakat dan bangsa Indonesia. Kondisi yang demikian diperburuk oleh turunnya
kualitas hidup yang diakibatkan oleh krisis moneter dan ekonomi. Sementara itu, orientasi
kehidupan ke arah materialistis dan hedonisme semakin kuat. Kenyataan-kenyataan
semacam ini tidak dapat diabaikan begitu saja oleh lembaga pendidikan dan para
pengambil kebijakan dalam pendidikan. Pendidikan harus peduli dan berupaya
mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan yang lebih baik dengan nilai-nilai
kehidupan yang lebih baik, sikap hidup yang lebih membangun citra kebangsaan yang
positif, produktif, dan mengangkat harkat bangsa dalam kontribusi terhadap masyarakat
dunia. Kebijakan pendidikan yang mengabaikan kenyataan ini sebagai masalah
pendidikan dan mengungkung diri pada masalah perenial akan sangat merugikan
kehidupan bangsa di masa mendatang. Perubahan yang disebabkan perkembangan kehidupan dunia internasional dalam politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya menyebabkan adanya tuntutan baru terhadap pendidikan.
Untuk bisa bersaing dalam kehidupan yang demikian terbuka bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan tertentu, sikap tertentu, dan nilai tertentu yang memungkinkan mereka hidup lebih baik, menjadi tuan dan bukan kuli di negeri sendiri. Kurikulum harus mampu memberi pengalaman belajar yang mampu mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang diperlukan untuk kehidupan masa mendatang. Artinya, kurikulum harus berfungsi menghasilkan generasi muda yang mampu mengembangkan kehidupan dirinya dan kehidupan bangsanya sesuai dengan tuntutan masyarakat pada waktu itu.
Ketika posisi dan fungsi suatu lembaga pendidikan berubah maka kurikulum pun harus
berubah. Kurikulum adalah operasionalisasi dari posisi dan fungsi lembaga pendidikan
yang diinginkan masyarakat. Dalam tulisan mengenai kurikulum Oliva (1997:12)
mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely
complex idea or set of ideas". Konsep yang dimaksudkan Oliva adalah konsep masyarakat
mengenai suatu pendidikan. Oleh karena itu, posisi dan fungsi suatu lembaga pendidikan
di suatu masyarakat tertentu menentukan kurikulum mana yang akan digunakan. Oleh
karena itu pada bagian lain Oliva mengatakan bahwa “curriculum is the response to the
societal needs”.
Posisi kurikulum yang demikian dapat dilakukan apabila kurikulum mengajukan pertanyaan yang tepat yaitu mengenai manusia dengan kualitas apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan. Tantangan yang muncul di masyarakat dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang tantangan seperti jenjang nasional, lokal, dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan tersebut tidak muncul begitu saja tetapi merupakan hasil rekonstruksi oleh sekelompok orang dan umumnya dilegalisasikan oleh pengambil keputusan. Kemudian posisi kurikulum dikerdilkan menjadi jawaban terhadap apa yang harus dikuasai peserta didik dari disiplin ilmu yang telah ditetapkan. Posisi ini adalah posisi kurikulum disiplin ilmu dan bukan kurikulum.










1.2. Tujuan
Kajian kurikulum pendidikan menengah (SMA) bertujuan :
1. Memperoleh gambaran tentang keunggulan dan kelemahan pelaksanaan kurikulum SMA ditinjau dari Badan Akriditasi Nasional, dokumen dan pelaksanaannya.
2. Memperoleh berbagai kesimpulan tentang standar isi dari segi implementasi dan
sebagai naskah dokumen .
3. Memberikan saran jangka pendek berupa penyempurnaan standar isi, standar proses, standar penilaian dan standar kompetensi lulusan.
4. Memberikan saran jangka panjang berupa usulan bentuk kurikulum
untuk masa depan.

1.3 Ruang Lingkup
Secara umum standar isi mencakup kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan. Kegiatan pengkajian ini
dibatasi pada kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan.
Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jenjang
pendidikan menengah antara lain dapat berbentuk SMA/ MA. Pengkajian standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan dan standar penilaian dibatasi pada jenjang SMA.

1.4. Landasan Yuridis
1.4.1. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Bab IX : Standar Nasional Pendidikan
Pasal 35 ayat (1) , (2), (4)
1) Standar Isi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Standar Nasional Pendidikan
2) Standar Isi dijadikan acuan pengembangan kurikulum
3) Standar isi lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Bab X : Kurikulum
Pasal 37 ayat (1)
Kurikulum pendidikan menengah memuat pendidikan agama; pendidikan
kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial;
seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olah raga; keterampilan/ kejuruan; muatan lokal.
Pasal 38 ayat (1)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum Pendidikan dasar ditetapkan pemerintah

BAB XVI : Evaluasi
Pasal 57
1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada
jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan,
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

1.4.2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang SNP.
1. Bab X : STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
Pasal 63
(1)Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal 66
1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan
dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
2) Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.
3) Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyakbanyaknya
dua kali dalam satu tahun pelajaran.



Pasal 67
1) Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti
peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah
dan jalur nonformal kesetaraan.
2) Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait
di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, dan
satuan pendidikan.
3) Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 68
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
d. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya
untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2. Bab XII : EVALUASI
Pasal 78
Evaluasi pendidikan meliputi:
a. evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan pendidikan sebagai bentuk
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

3. BAB III : Standar Isi tentang Beban Belajar
Pasal 11
1) ayat (1): Beban belajar untuk SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat pada` jalur pendidikan
formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS)
2) ayat (4) : Beban belajar minimal dan maksimal bagi SMA/MA yang menerapkan sistem
SKS ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usul dari BSNP.
Pasal 12
ayat (2) Beban belajar efektif per tahun ditentukan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan
BSNP.



Pasal 18
1) Kalender pendidikan mencakup permulaan tahun ajaran, minggu efektif belajar,
waktu pembelajaran efektif dan hari libur hari libur dapat berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya satu minggu dan jeda antar semester
2) Kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23
tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan
pendidikan menengah
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 24 tahun 2006
pelaksanaan Permen No. 22 Sedangkan kegiatan pengkajian standar isi ini mengacu pada Peraturan Mendiknas no. 24 tahun 2006 Pasal 7, yang memuat tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan antara lain:
a. mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP
b. memberikan usulan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri.














BAB II
KAJIAN TEORETIS


Pengembangan KTSP harus diikuti dengan penggunaan strategi peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Kebijakan program untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:110) meliputi empat aspek : ”kurikulum, tenaga kependidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan”
Menurut Sukmadinata (2001: 4) Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses
pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan memberikan pedoman
dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam seluruh kegiatan pembelajaran, yang menentukan proses dan hasil belajar. Menurut Mulyasa (2006:271)
Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam pembelajaran, serta dalam pembentukan kompetensi dan pribadi peserta didik dan dalam perkembangan kehidupan masyarakat pada umumnya, maka pembinaan dan pengembangan kurikulum tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, tetapi memerlukan landasan yang kuat berdasarkan hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kurikulum berkaitan dengan penentuan arah, isi, dan proses pendidikan yang nantinya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan.

Menurut Mulyasa (2006:1) “KTSP dibuat oleh guru disetiap satuan pendidikan untuk menggerakkan mesin utama pendidikan, yakni pembelajaran” Menurut Mulyasa (2006:22), ada 2 tujuan diterapkannya KTSP, yaitu :
a. Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan
dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum
b. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk : 1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. 2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan menurut Mulyasa (2006:27) sebagai berikut:
a. Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun BSNP.
b. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
c. Sekolah dan Komite Sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah
supervisi dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggung jawab dibidang pendidikan.
d. Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi diperguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar
Nasional Pendidikan.

Karakteristik kurikulum tingkat satuan pendidikan
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian. Menurut Mulyasa (2006:29-31)
karakteristik KTSP sebagai berikut :
a. Pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan
b. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi
c. Kepemimpinan yang demokratis dan professional
d. Tim kerja yang kompak dan transparan

Karakteristik KTSP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan KTSP memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan yang disertai seperangkat tanggung jawab untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah dan satuan pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat, kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan dan sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga kependidikan untuk lebih professional.


2. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, pelaksanaan kurikulum didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan
masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai narasumber pada berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
3. Kepemimpinan yang demokratis dan professional
Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana kurikulum merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan professional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guruguru
yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik professional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja professional yang disepakati bersama
untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran siswa.
4. Tim kerja yang kompak dan transparan
Keberhasilan pengembangan kurikulum dan pembelajaran didukung oleh kinerja team yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan untuk peningkatan
mutu dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Dalam konsep KTSP yang utuh kekuasaan yang dimiliki sekolah dan satuan pendidikan, terutama mencakup pengambilan keputusan tentang pengembangan kurikulum dan pembelajaran, serta penilaian hasil belajar peserta didik.

Untuk menilai hasil dan proses pendidikan diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian yaitu tujuan, bahan ajar, metode, dan penilaian yang merupakan komponen-komponen utama kurikulum. Ada tiga konsep mengenai kurikulum menurut Sukmadinata (2001:27), yaitu :
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi muridmurid disekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal, dan evaluasi.
Serta digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para
penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat yang mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, kabupaten, propinsi ataupun seluruh Negara.



Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, system pendidikan, bahkan sistem masyarakat.
Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara
menyusun kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum
adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsepketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuannya adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.Pembaharuan sistem pendidikan termasuk di dalamnya pembaharuan kurikulum sering disikapi sebagai dampak dari perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan masuk didalamnya yang menimbulkan lebih banyak penolakan terhadap adanya perubahan tersebut.

Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” menyebutkan bahwa akan
timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap
perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar
bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Mereka juga meyakini bahwa
umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada
saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Bennie dan Newstead (1999) menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor dimaksud mencakup antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, kurangnya bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum dan pengetahuan dikaitkan dengan kuriklum baru tersebut. Menurut Charles dan Jones (1973), setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional di lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari kebijakan perubahan tersebut. Setiap kendala atau hambataan harus segera diantisipasi sebelum menimbulkan masalah yang besar dan kompleks. Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan atau perubahan tersebut. Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru. Seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan kemampuan guru sebagai ujung tombak dalam implementasi kurikulum dimaksud (Hargreaves, 1995).

Fennema dan Franke (1992) mendukung pernyataan Hargreaves (1995) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Suatu studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum.
Menurut Middleton (1999), berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui
cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau
guru. Perubahan kurikulum berkait dengan perubahan paradigma pembelajaran.

Perubahan paradigma baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana mereka perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru.
Agar berhasil, mereka menyarankan untuk cenderung menunda implementasi kurikulum sebelum
diperoleh keyakinan secara faktual bahwa para guru benar-benar tahu apa yang seyogyanya
dilakukan dengan kurikulum yang baru. Dengan kata lain, implementasi suatu kurikulum
baru memerlukan waktu dalam proses transisinya.

Untuk mengetahui apakah kebijakan baru mengenai kurikulum telah menyebabkan adanya
perubahan, dapat dievaluasi oleh setidak-tidaknya tiga indikator (Fullan, 2001).
Pertama,sejauhmana materi-materi baru atau yang direvisi digunakan oleh guru-guru.
Kedua, sejauh mana pendekatan-pendekatan pengajaran yang baru telah diterapkan dalam proses kegiatankegiatan belajar di kelas.
Ketiga, sejauhmana guru-guru berkeyakinan bahwa kebijakan berdampak kepada perbaikan mutu dan proses pembelajaran. Ketiga indikator tersebut secara bersama-sama akan menentukan tercapai tidaknya tujuan-tujuan perubahan pendidikan.





BAB III
PEMBAHASAN



1. Kondisi Pendidikan SMA / Madrasah
Pada saat sekarang pendidikan di jenjang SMA dianggap sebagai kelanjutan linear dari
pendidikan SMP. Konsep pendidikan tersebut memang sudah berlaku lama dan
diwariskan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Konsep tersebut adalah bahwa pendidikan
SMA adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan studi ke
pendidikan di atasnya (pendidikan tinggi) dan untuk bekerja. Konsep ini menggambarkan
bahwa pendidikan SMA harus mempersiapkan dua jenis tamatan yaitu mereka yang akan
bekerja dan mereka yang akan melanjutkan atau sebagaimana kenyataan sekarang ini pada
setiap tamatan SMA terdapat dua kemampuan yaitu kemampuan untuk melanjutkan dan
kemampuan untuk bekerja.

Tugas ini bukan ringan dan dalam kenyataannya sulit dipenuhi oleh kurikulum SMA.
Kurikulum SMA yang berlaku sejak masa sebelum kemerdekaan sampai saat kini tidak
berubah dalam jenis dan filosofinya. Model kurikulum SMA adalah kurikulum yang
dikelompokkan sebagai kurikulum disiplin ilmu sedangkan filosofi pendidikan yang
digunakan adalah esensialisme. Pada kurikulum disiplin ilmu maka tujuan pendidikan
adalah menghasilkan tamatan dengan intelektual tinggi menurut kaidah disiplin ilmu.
Dalam pandangan ini, seseorang yang dianggap warga terhormat adalah warga yang
memiliki tingkat intelektual tinggi dan pendidikan disiplin ilmu adalah pendidikan yang
paling tepat untuk menghasilkan tamatan yang demikian.
Bagi mereka yang tidak mau melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi kurikulum
SMA tidak menyiapkan peserta didik dengan kemampuan untuk bekerja. Secara jelas,
kurikulum SMA tidak pernah memberikan pengalaman yang dapat digunakan untuk
mencari kehidupan di masyarakat. Kurikulum SMA yang berlaku tidak memberikan
kemampuan hidup secara umum di masyarakat apalagi untuk dapat meniti kehidupan
dengan kemampuan khusus. Kemampuan khusus tersebut pada saat sekarang memang
dirancang untuk SMK bukan untuk SMA. Dengan demikian kurikulum SMA yang
berlaku pada saat sekarang tidak mampu mengembangkan ”life skills” baik yang disebut
sebagai ”social skills”, ”communicative skills”, apalagi ”economic/vocational skills”.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa kurikulum SMA yang berlaku saat sekarang tidak
mampu memenuhi tujuan kelembagaannya.
Kurikulum SMA yang berlaku pada saat kini dikembangkan berdasarkan UU nomor 20
tahun 2003, PP nomor 19 tahun 2005, Permen Diknas nomor 22 tahun 2006 dan Permen
Diknas nomor 23 tahun 2006. UU nomor 20 tahun 2003 mengatur bahwa kurikulum suatu
satuan pendidikan dikembangkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan
standar isi (Permen Diknas nomor 22 tahun 2006) dan standar kompetensi lulusan
(Permen Diknas nomor 23 tahun 2006). Kurikulum yang dikembangkan dan dinamakan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan suatu gerakan baru dalam
dunia pendidikan Indonesia. Gerakan ini disesuaikan dengan arah perkembangan politik
berkenaan dengan sistem pemerintahan dan kekuasaan yang desentralistis. Wewenang
mengatur pendidikan ada pada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam KTSP kepentingan nasional dan kepentingan daerah berada dalam satu garis yang
searah bukan kontinum. Kepentingan nasional tidak boleh dikorbankan oleh kepentingan
daerah dan demikian pula sebaliknya, kepentingan daerah tidak boleh dikorbankan oleh
kepentingan nasional. Kedua kepentingan tersebut harus berjalan harmonis.
Sayangnya gerakan baru dalam pengembangan kurikulum tersebut tidak mengubah wajah
kurikulum SMA secara fundamental. Hal itu terjadi karena fungsi SMA sebagai lembaga
pendidikan di jenjang pendidikan menengah tidak berubah dari fungsi sebelumnya. Fungsi
SMA masih merupakan kelanjutan jenjang pendidikan dasar dan dalam perspektif yang
sama pula. Oleh karena itu, peran pendidikan SMA tidak mampu secara maksimal
mewujudkan fungsinya sebagai persiapan bagi mereka yang melanjutkan ke perguruan
tinggi dengan baik. Dalam keadaannya sekarang, pendidikan SMA tidak pula mampu
mewujudkan fungsinya untuk mempersiapkan peserta didik bagi kehidupan. Fungsi SMA
sudah harus berubah menghadapi tantangan baru masyarakat global yang penuh
persaingan dan tuntutan terhadap pendidikan untuk menghasilkan manusia yang
berkualitas lebih baik.




2. Kajian Dokumen

I. PENDAHULUAN
Dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Penidikan (KTSP) SMA N Way Jepara mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
II. VISI, MISI DAN TUJUAN SEKOLAH
a. Visi : Berilmu, berakhlak, berketerampilan, berkebangsaan berdasarkan Ilman dan
Taqwa.

b. Misi : 1. Menerapkan metode pembelajaran yang menyenangkan dan mencerdaskan
dengan Spritual Quantum Teaching
2. Meningkatkan mutu pendidikan dengan Spritual Quantum Teaching
3. Meningkatkan tenaga kependidikan secara profesional
4. Memanfaatkan dan mengembangkan saran dan prasarana secara optimal
5. Meningkatkan mutu lulusan
6. Meningkatkan peran serta orang tua dan masyarakat dalam pendidikan.

c. Tujuan : 1.Terbentuknya masyarakat sekolah yang berakhlak mulia berkepribadian
luhur.
2. Meningkatkan wawasan keimanan dan ketaqwaan masyarakat sekolah
3. Meningkatkan mutu proses pembelajaran
4. Meningkatkan media pembelajaran berbasis ICT
5. Meningkatkan partisifasi orang tua dan masyarakat dalam proses
pendidikan.




III. STRUKTUR KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

Kelas dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik kelas X, dan program penjurusan yang diikuti oleh kelas XI dan XII, terdiri atas tiga program: (1) Program Ilmu Pengetahuan Alam, (2) Program Ilmu Pengetahuan Sosial,

a. Kurikulum Kelas X
Kurikulum Kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera pada Tabel berikut ini :
Struktur Kurikulum Kelas X
Komponen Alokasi Waktu
Semester 1 Semester 2
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4
4. Bahasa Inggris 6 6
5. Matematika 4 4
6. Fisika 2 2
7. Biologi
8. Kimia 2
2 2
2
9. Sejarah
10. Geografi
11. Ekonomi
12. Sosiologi 1
1
2
2 1
1
2
2
13. Seni Budaya 2 2
14. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2
15. Teknologi Informasi dan Komunikasi
16. Bahasa Mandarin 2

2 2

2
B. Muatan Lokal :
Pendidikan multi kultur 2 2
C. Pengembangan Diri 2*) 2*)
Jumlah 40 40
2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran
Keterangan:
1) Muatan lokal ( pendidikan multi kultur) merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi kearifan lokal dalam upaya hidup bersama dalam keanekaragaman budaya, suku dan agama
2) Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler antara lain (olah raga prestasi, kesenian daerah/tarian adat)
3) Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit.
4) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.

b. Kurikulum Kelas XI dan XII
Kurikulum Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Program Bahasa, terdiri atas 13 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Kurikulum tersebut secara berturut-turut disajikan sebagai beikut:
Struktur Kurikulum Kelas XI dan XII program IPA

Komponen Alokasi Waktu
Kelas XI Kelas XII
Smt 1 Smt 2 Smt 1 Smt 2
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama
2 2 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 4 4
4. Bahasa Inggris 5 5 5 5
5. Matematika 4 4 4 4
6. Fisika 4 4 4 4
7. Kimia 4 4 4 4
8. Biologi 4 4 4 4
9. Sejarah 1 1 1 1
10. Seni Budaya 2 2 2 2
11. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2 2
12. Teknologi Informasi dan Komunikasi 2 2 2 2
13. Bahasa Mandarin 2 2 2 2
B. Muatan Lokal
(Pendidikan multi kultur) 2 2 2 2
C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*) 2*)
Jumlah 40 40 40 40
2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran







Struktur Kurikulum Kelas XI dan XII program IPS
Komponen Alokasi Waktu
Kelas XI Kelas XII
Smt 1 Smt 2 Smt 1 Smt 2
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama
2
2
2
2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 4 4
4. Bahasa Inggris 5 5 5 5
5. Matematika 4 4 4 4
6. Sejarah 3 3 3 3
7. Geografi 3 3 3 3
8. Ekonomi 4 4 4 4
9. Sosiologi 3 3 3 3
10. Seni Budaya 2 2 2 2
11. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2 2
12. Teknologi Informasi dan Komunikasi 2 2 2 2
13. Bahasa Mandarin 2 2 2 2
B. Muatan Lokal
(pendidikan multi kultur) 2 2 2 2
C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*) 2*)
Jumlah 40 40 40 40
2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran


1. Struktur Kurikulum dan Beban Belajar
Struktur program merupakan bagian penting dalam sebuah proses pembelajaran karena dari
sanalah dapat terbentuk sistem kegiatan belajar mengajar yang diharapkan dapat berhasil
secara maksimal. Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap struktur program SMA,
terdapat beberapa temuan.
I. Ketidakseimbangan antara mata pelajaran dengan bebannya.
a. Kelas X
Menurut BSNP Pada kelas X, terdapat mata pelajaran yang waktunya hanya 1 jam pelajaran , yaitu mata pelajaran sejarah dan geografi dengan alokasi waktu hanya 1 jam pelajaran saja. Hal ini tentu sangat menyulitkan di dalam pengelolaannya. Berbagai persiapan yang harus dilakukan guru,
termasuk memberikan apersepsi kepada siswa dalam sebuah mata pelajaran sungguh tidak
memungkinkan bila hanya dialokasikan denga 1 jam pelajaran (45 menit). Mata pelajaran
sejarah tidak hanya menginformasikan berbagai fakta dan kejadian semata. Mata pelajaran
ini menuntut siswa selalu mengkaji informasi/fakta/kejadian secara cerdas dan arif
sehingga menghasilkan kesimpulan dari materi tersebut secara proporsional. Penanaman
nilai-nilai sejarah pada siswa juga harus diberikan mata pelajaran ini melalui KBM yang
variatif dan bermakna. Oleh sebab itulah mata pelajaran sejarah di kelas ini
direkomendasikan untuk ditambah dari 1 jam pelajaran menjadi 2 jam pelajaran.
Namun di SMA Negeri way Jepara Mata pelajaran geografi juga direkomendasikan untuk menambah jumlah jam pelajaran dari 1 jam pelajaran menjadi 2 jam pelajaran. Selain persiapan yang harus dilakukann guru dalam sebuah pembelajaran, materi geografi juga sangat kompleks.
Kondisi geografis Indonesia yang sangat unik menyebabkan kajian geografi menjadi sesuatu yang harus didiskusikan antara siswa dan guru secara komprehensif sehingga hasil pembelajaran ini
membuat siswa memahami,menghargai, dan mencintai negara mereka. Peristiwa alam yang
banyak terjadi di Indonesia seperti tsunami, gempa bumi, banjir, gunung meletus, dan
longsor mengharuskan mata pelajaran geografi memberikan informasi kepada siswa dan
mendiskusikannya.
b. Kelas XI dan XII Program IPA
Mata pelajaran sejarah pada program ini diberi alokasi waktu hanya 1 jam saja. Untuk itu,
mata pelajaran ini pada program ini direkomendasikan juga untuk ditambah dari 1 jam
pelajaran menjadi 2 jam pelajaran. Program IPA yang berorientasi pada sains bukan berarti
tidak memerlukan mata pelajaran sejarah. Mata pelajaran sejarah pada program IPA atau
pada program lainnya tidak boleh dipandang sebagai sebuah kajian materi yang hanya
menambah beban siswa, melainkan harus menjadi alat perekat bangsa sebab melalui
sejarahlah seseorang atau suatu bangsa dapat belajar dari kesalahan atau mengacu pada
sebuah keberhasilan. Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan pelajaran ini
sebagai sebuah pembelajaran yang variatif dan bermakna bagi anak.
c. Kelas XI dan XII Program IPS
Mata pelajaran ekonomi pada program ini direkomendasikan ditambah dari 4 jam menjadi 5
jam. Adanya materi akuntasi dan ekonomi lingkungan sebagai core program IPS
menyebabkan mata pelajaran ini harus memiliki waktu yang cukup agar kompetensi yang
disyaratkan tercapai.
d. Mata Pelajaran Keterampilan/ Bahasa asing kelas X.
Banyaknya mata pelajaran di Indonesia pada sistem pendidikan di setiap jenjang
mendapatkan respon dari beberapa negara. Mereka menganggap bahwa jumlah mata
pelajaran di Indonesia termasuk yang cukup banyak. Pendapat ini seolah mengesankan
bahwa siswa Indonesia harus mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi/pengetahuan
tanpa melihat sisi-sisi lainnya, seperti psikologi anak, sumber daya manusia, dan sarana
prasarana. Pengajaran bahasa asing selain bahasa Inggris tentunya memerlukan konsekuensi yang harus dipikirkan. Hal utama yang harus dipikirkan adalah ketersediaan sumber daya manusia (guru) yang akan mengajar mata pelajaran bahasa asing ini. Kota-kota besar mungkin tidak menjadi masalah dengan hal ini, tetapi kita harus juga memikirkan daerah-daerah terpencil. Adanya mata pelajaran ini pada struktur program SMA kelas X mengharuskan setiap sekolah untuk memberikan mata pelajaran ini. Usulan yang diajukan mengenai hal ini adalah menjadikan mata pelajaran ini sebagai kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam kegiatan pengembangan diri.


3. KAJIAN PELAKSANAAN
a. Konsep Muatan Lokal
Konsep muatan lokal masih belum dipahami secara benar oleh sebagaian besar sekolah.
Untuk itu diusulkan kalimat yang menegaskan bahwa bahwa tujuan mulok adalah untuk
mempertahankan dan mengembangkan keunggulan/potensi daerah dan membangun
kesadaran lingkungan pisik daerah dan sosial budaya daerah. Materi dapat diberikan antara
lain dalam bentuk seni budaya daerah, bahasa daerah, industri, dan kerajinan daerah. Dalam pelaksaannya penentuan jenis muatan local yang akan diterapkan di sekolah tidak melibatkan unsure komite atau orang tua wali murid, jadi sekolah sendiri yang menentukan. Di SMA Negeri way jepara mulok ini diberikan 2 jam dari kelas X samapai dengan kelas XII semau jurusan baik IPA maupun jurusan IPS adapun muloknya anatara lain:
1. Wirausaha
2. Sulam Tapis
3. Pertanian
4. Fotoshoop
5. Video Shooting

b. Konsep Pengembangan Diri
Pengembangan diri dalam struktur program tidak perlu mencantumkan jumlah ekuivalen
jam karena banyak kegiatan yang bisa dikembangkan. Diusulkan agar pengembangan
diberi tanda bintang serta keterangan bahwa jumlah jamnya diserahkan sekolah sesuai
dengan kebutuhan. Penegembangan diri yang diterapakan di SMA Negeri way jepara hamper 16 jenis ekstrakurikuler.
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER

No.
JENIS KEGIATAN
ANGGOTA
PENGURUS
KEGIATAN
KET.
Laki Prmp Jumlah Ada Tidak Aktif Tidak
A AKADEMIK
1 Olimpiade
a. Fisika 8 7 15 v v
b. Kimia 4 5 9 v v
c. Biologi 5 9 14 v v
d. Astronomi 7 1 8 v v
e. Matematika 6 8 14 v v
f. Komputer 4 5 9 v v
g. Ekonomi 10 10 v v
h. Statistik
i. Kebumian 1 10 11 v v
2. Karya Tulis Ilmiah 13 18 31 v v
a. Penelitian
b. Jurnalistik
1) Mading 7 16 23 v v
2) Buletin
3) Koran
4) Majalah
5) Elektrik
c. Inovasi
3 LCT
4. English club 23 27 50 v v
B NON AKADEMIK
1. ROHIS 25 52 77 v v
2. Pramuka 19 12 31 v v
3. PMR. 19 19 38 v v
4. UKS 18 18 v v
5. OSPALA 17 22 39 v v
6. PASKIBRA 10 24 34 v v
7. Sanggar Seni
a. Teater / Drama 8 30 38 v v
b. Tari 5 15 20 v v
c. Band 20 4 24 v v
d. Paduan Suara 15 23 38 v v
e. Solo Song 2 5 7 v v
f. Orgen tunggal 1 3 4 v v
g. Lukis 11 6 17 v v
h. Kriya 3 1 4 v v
8. Olah Raga Prestasi
a. Karate 4 12 16 v v
b. Pencak Silat 1 11 12 v v
c. Sepak Bola 34 34 v v
d. Bola Volly 11 10 21 v v
e. Tenis meja 19 7 26 v v
f. Bola Basket 17 13 30 v v
g. Atletik 3 5 8 v v
h. Catur 5 3 8 v v
i. Bridge 29 6 35 v v
j. Bulu tangkis 25 13 38 v v

c. Penjurusan
Kriteria dari pusat yang menetapkan ketuntasan sebagai syarat masuk penjurusan
menimbulkan multitafsir, sehingga semua anak bisa memilih program jurusannya.
Perlunya pernyataan bahwa kriteria penjurusan diarahkan pada minat dan kemampuan.
Diusulkan perlu ditambah kriteria penjurusan bahwa nilai pada ciri khas kelompok
penjurusan harus lebih tinggi dari nilai KKM di tambah dengan aminat dan hasil tes Psikotes

d. Ujian Nasional
Ujian nasional masih belum bermakna bagi proses kelanjutan pendidikan ke PTN dan
masih belum diperhitungkan dalam seleksi masuk PTN. Hal ini mengakibatkan siswa
hanya sekadar lulus. Siswa-siswa yang pintar dari sekolah-sekolah unggulan sebagian
besar tidak berusaha untuk mendapatkan nialai yang maksimal melainkan hanya sekadar
lulus saja. Ini disebabkan oleh tidak adanya pembobotan nilai UN dalam seleksi
penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Para siswa tersebut beranggapan tidak perlunya
nilai tinggi pada UN karena hal itu tidak mempengaruhi seleksi di perguruan tinggi
negeri . Untuk itu diusulkan harus ada kerja sama antara Dirjend Mandikdasmen dengan
Perguruan Tinggi dalam rangka memperhitungkan UN sebagai bagian dari seleksi masuk
PTN, salah satunya pembobotan NEM sebagai penentuan Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB)

4. HASIL KAJIAN KURIKULUM SMA
a. Kekurangan Kurikulum SMA sekarang dan Prediksi Mendatang
Sesuai dengan fungsi SMA sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi maka
kurikulum yang digunakannya harus mengalami penyesuaian dengan fungsi tersebut yaitu
kurikulum yang mempersiapkan peserta didik untuk pendidikan mereka di perguruan
tinggi. Selain itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan landasan filosofis
pendidikan Indonesia yang memandang manusia sebagai suatu kesatuan utuh jasmani dan
rohani maka kurikulum SMA masa mendatang harus pula memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan minat dan aspek keperibadian lainnya.
Dengan perkataan lain, kurikulum di SMA tidak hanya memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengembangkan kemampuan yang dipersyaratkan untuk ke perguruan
tinggi tetapi juga untuk memberikan berbagai kesempatan mengembangkan berbagai
pilihan yang sesuai dengan minat peserta didik.
Untuk memenuhi tujuan tersebut maka kurikulum SMA terdiri dari dua kelompok mata
pelajaran wajib dan kelompok mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran wajib terdiri atas
mata pelajaran wajib yang bersifat umum dan mata pelajaran wajib yang disesuaikan
dengan tuntutan perguruan tinggi. Mata pelajaran wajib umum adalah mata pelajaran yang
harus diikuti oleh seluruh peserta didik dan yang sesuai dengan keputusan pemerintah
terdiri atas Bahasa Indonesia, Agama, Bahasa Inggeris, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Mata kuliah wajib yang disesuaikan dengan tuntutan pendidikan di perguruan tinggi di
fakultas/program studi yang akan dimasuki peserta didik. Mata pelajaran wajib ini terdiri
atas kelompok:
- Bahasa Indonesia
- Bahasa Asing
- Matematika
- Science
- Ilmu Sosial
- Pendidikan Jasmani
- Pendidikan Musik
Dalam setiap kelompok mata pelajaran terdapat mata pelajaran yang diperlukan untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan untuk mereka yang tertarik secara pribadi. Oleh
karena itu setiap mata pelajaran yang ada dalam kelompok di atas terdiri atas mata
pelajaran yang mengembangkan kemampuan pada tingkat ”proficiency” dan mata
pelajaran yang ”advanced”. Mata pelajaran yang mengembangkan kemampuan
”proficiency” diikuti oleh mereka yang wajib mempelajarinya karena tuntutan bidang
studi di perguruan tinggi yang akan ditempuhnya dan bagi mereka yang tertarik mata
pelajaran tersebut karena minat pribadi. Mata pelajaran yang mengembangkan tingkat
kemampuan ”advanced” hanya diikuti oleh mereka yang akan melanjutkan studi di
perguruan tinggi yang menuntut penguasaan tingkat tersebut. Misalkan seseorang yang
akan melanjutkan ke bidang teknologi harus menguasai matematika pada jenjang
”advanced” sedangkan seseorang yang akan melanjutkan studi ke bidang ekonomi
mungkin cukup memiliki penguasaan matematika pada jenjang ”profiency”.
Demikian pula bagi mereka yang belajar bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib
umum maka tingkat penguasaan yang dipersyaratkan adalah pada jenjang kemampuan
”profiency” sedangkan bagi mereka yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi di bidang
yang berkenaan dengan bahasa dan sastra persyaratannya haruslah pada jenjang
”advanced”. Hal yang sama diterapkan juga kepada bahasa Inggris dimana jenjang
”advanced” dipersyaratkan bagi mereka yang akan melanjutkan studi dalam bahasa
Inggeris sedangkan jenjang ”profieciency” adalah bagi mereka yang mengambil bidang
studi lain selain bahasa Inggris.
Jenjang ”proficiency” dan jenjang ”advanced” suatu mata pelajaran ditentukan oleh ahli
bidang tersebut dan guru yang mengajar. Kesepakatan tersebut tidak dilakukan pada setiap
sekolah tetapi dapat dilakukan pada tingkat nasional. Hasil kesepakatan tersebut menjadi
Standar Kompetensi Lulusan dan ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Ketetapan tersebut harus diPahami oleh setiap satuan SMA dan guru yang
mengajar mata pelajaran tersebut. Guru harus memahami dengan jelas kriteria dan
indikator yang membedakan antara jenjang ”proficiency” dan ”advanced” yang mungkin
saja untuk setiap mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran berbeda dari kelompok
mata pelajaran lainnya.

b. STRUKTUR KURIKULUM DAN PENJURUSAN
Kurikulum SMA terdiri atas dua jenjang yaitu jenjang pendidikan awal/umum dan jenjang
pendidikan khusus. Jenjang pendidikan awal adalah jenjang dimana seluruh peserta didik
mengikuti mata pelajaran yang sama. Jenjang ini diberikan pada tahun pertama dan
maksudnya adalah memantau kemampuan dan minat peserta didik. Pada jenjang ini
peserta didik dinilai dari prestasi belajar dalam berbagai mata pelajaran, hasil dari
kegiatan konseling, dan prestasi peserta didik di bidang-bidang lain di luar mata pelajaran
yang terdapat dalam kurikulum. Dari awal peserta didik dan orang tua sudah harus
mengetahui tujuan dari jenjang pendidikan umum ini.
Tahun kedua adalah tahun penjurusan. Berdasarkan hasil penilaian terhadap prestasi
belajar dan berbagai kegiatan yang telah dilakukan pada tahun pertama, saran dari
konselor dan masukan dari orang tua maka peserta didik dan guru menentukan bidang
studi yang akan diikutinya di perguruan tinggi. Berdasarkan penentuan tersebut maka
rancangan kurikulum bagi mereka ditentukan: mata kuliah apa yang wajib diikuti, beban
sks serta jenjang kemampuannya, dan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan beserta
jadwal. Pada waktu itu juga peserta didik menentukan mata pelajaran yang akan diambil
sesuai dengan minatnya.
Mata pelajaran yang diikuti karena minat peserta didik tidak boleh dibatasi oleh kategori
keilmuan. Artinya, seseorang yang akan melanjutkan pelajaran ke bidang teknologi dan
oleh karenanya mengambil matematika dan fisika sebagai mata pelajaran wajib tidak
harus mengambil biologi (jika tidak dipersyaratkan) tetapi dapat mengambil sastra, drama,
musik, atau bidang sosial. Di sini yang menentukan adalah minat dan bukan kelompok
atau kategori keilmuan.


Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas maka struktur kurikulum SMA terdiri atas
bersama pada tahun pertama dan tahun penjurusan pada tahun kedua dan ketiga. Pada
tahun pertama bersama peserta didik mengikuti mata pelajaran sebagai berikut:
- Pendidikan Agama untuk kepribadian
- Bahasa Indonesia untuk skill berbahasa dan estetika
- Pendidikan Kewarganegaraan untuk kepribadian
- Bahasa Inggris untuk skill berbahasa
- Pendidikan Sejarah untuk semangat kebangsaan
- Pendidikan Olahraga untuk kesehatan dan hobi
- Pendidikan Kesenian untuk kepribadian dan estetika
- Matematika untuk cara berbikir dan ketrampilan
- IPS untuk introduction to social sciences (ways of thinking, basic concepts,
ways of doing, benefit and impact on life and environment)
- IPA untuk introduction to science (ways of thinking, basic concepts, ways of
doing, benefit and impact on life and environment)
- Muatan lokal (studi wilayah yang berkenaan dengan aspek sosial, ekonomi,
budaya, fisik)
Mata pelajaran tersebut tidak perlu dalam SKS yang tinggi, cukup dalam rentangan 2 – 4
SKS.

C. Sistem SKS dan Sistem Paket
Setiap mata pelajaran diberi beban SKS yang dapat memiliki bobot dari 2 – 4 SKS. Setiap
bobot SKS terdiri atas kegiatan tatap muka, kegiatan berstruktur, dan kegiatan mandiri.
Batas minimal penguasaan, baik untuk tingkat ”proficiency” maupun ”advanced”
ditentukan oleh kegiatan dan penguasaan pada kegiatan tatap muka dan berstruktur.
Kegiatan mandiri adalah bonus yang dapat menutupi kekurangan pada pencapaian dalam
tatap muka dan kegiatan berstruktur tetapi juga dapat meningkatkan pencapaian yang
sudah memenuhi batas minimal dan untuk mendapatkan special remark jika pencapaian
pada tatap muka dan berstruktur telah maksimal.
Paket adalah keseluruhan mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk suatu
bidang studi di perguruan tinggi. Paket tersebut terdiri atas mata pelajaran wajib umum
dan kelompok mata pelajaran wajib yang harus diikuti karena diwajibkan perguruan
tinggi.
Beban belajar untuk setiap paket antara 25 - 30 SKS per minggu. Untuk SMA yang
berstatus ”comprehensive school” maka paket terdiri dari paket pendidikan umum sebagai
kelanjutan dari tahun pertama dan vokasional untuk mempersiapkan mereka masuk ke
dunia kerja. Paket vokasional di SMA harus berbeda dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Paket vokasional itu bersifat mengembangkan kemampuan dalam berbagai bidang yang
sesuai dengan program studi yang ada di SMA.

d. PENILAIAN HASIL BELAJAR
Penilaian hasil belajar dilakukan guru pada setiap akhir suatu pokok bahasan dan bersifat
formatif. Guru harus menilai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki peserta didik untuk
suatu mata pelajaran. Berdasarkan hasil penilaian tersebut maka guru memberikan
”remedial” untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki peserta didik.
Peserta didik yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi, pada akhir SMA tidak diadakan
UN untuk menentukan kelulusan. Secara prinsipiil setiap SMA dapat mendaftarkan
peserta didiknya untuk masuk ke perguruan tinggi yang diinginkannya. Artinya, pada
akhir tahun ketiga peserta didik SMA mengikuti ujian masuk ke perguruan tinggi. Untuk
itu maka perlu ada kerjasama dan kesepakatan antara perguruan tinggi dan pengelola
SMA pada tingkat nasional. Seperti dikatakan pada bagian awal, kesepakatan tersebut
diperlukan untuk menentukan kurikulum SMA dan sistem ujian masuk ke perguruan
tinggi. Jika dalam pertimbangan tertentu suatu perguruan tinggi menetapkan peserta didik sebuah
SMA tertentu dapat langsung mendaftarkan diri ke perguruan tinggi yang bersangkutan,
maka peserta didik SMA tersebut tidak perlu mengikuti tes atau ujian masuk perguruan
tinggi. Dalam konteks yang lebih global SMA tertentu dapat saja mendaftarkan peserta didiknya
untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di luar negeri. Dalam konteks yang demikian maka kurikulum tahun kedua dan ketiga SMA tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dari perguruan tinggi di negara di mana peserta didik tersebut akan kuliah. Sedangkan bagi mereka yang akan menyelesaikan pendidikan wajib belajarnya maka mereka tidak juga perlu mengikuti UN (dalam konsep sekarang ini) tetapi mereka perlu mengikuti ujian untuk keterampilan vokasionalnya dan mendapatkan sertifikat.


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


KESIMPULAN
1. Standar Isi belum banyak dipahami secara komprehensif oleh stake holder terutama
guru dan siswa.
2. Ada beberapa mata pelajaran yang alokasi waktunya sangat sempit (1 jam) sehingga
menyulitkan dalam pengelolaan pembelajaran.
3. Jumlah jam pelajaran pada yang menjadi core program tertentu masih ada yang
kurang.
4. Nilai tambah UN belum ada. Nilai UN masih belum memiliki bobot yang digunakan
sebagai salah satu pertimbangan masuk UMPTN.
5. Sosialisasi kebijakan harus dilakukan setelah kebijakan itu diterapkan.



















Lampiran
I. STANDAR ISI

1. Sekolah/Madrasah melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
A. Melaksanakan kurikulum berdasarkan 9 (sembilan) komponen muatan KTSP.
B. Melaksanakan kurikulum berdasarkan 8 (delapan) komponen muatan KTSP.
C. Melaksanakan kurikulum berdasarkan 7 (tujuh) komponen muatan KTSP.
D. Melaksanakan kurikulum berdasarkan 6 (enam) atau kuran komponen muatan KTSP.
E. E. Tidak melaksanakan KTSP.

2. Sekolah/Madrasah mengembangkan kurikulum bersama-sama pihak terkait berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.
A. Bersama seluruh guru mata pelajaran, konselor, dan komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan.
B. Bersama representasi guru mata pelajaran, konselor, dan komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan.
C. Bersama representasi guru mata pelajaran dan komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan.
D. Bersama representasi guru mata pelajaran tanpa melibatkan komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan.
E. Tidak mengembangkan kurikulum.

3. Sekolah/Madrasah mengembangkan kurikulum melalui mekanisme penyusunan KTSP.
A. Mengembangkan kurikulum melalui mekanisme yang mencakup 7 (tujuh) tahap penyusunan.
B. Mengembangkan kurikulum melalui mekanisme yang mencakup 5 (lima) atau 6 (enam) tahap penyusunan.
C. Mengembangkan kurikulum melalui mekanisme yang mencakup (tiga) atau 4 (empat) tahap penyusunan.
D. Mengembangkan kurikulum melalui mekanisme yang mencakup 1 (satu) atau 2 (dua) tahap penyusunan.
E. Tidak mengembangkan kurikulum.




4. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip perbaikan layanan pembelajaran, pengayaan layanan pembelajaran, pendayagunaan kondisi alam, serta pendayagunaan kondisi sosial dan budaya.
A. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip perbaikan layanan pembelajaran, pengayaan layanan pembelajaran, pendayagunaan kondisi alam, serta pendayagunaan kondisi sosial dan budaya.
B. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip perbaikan layanan pembelajaran, pengayaan layanan pembelajaran, dan pendayagunaan kondisi alam.
C. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip perbaikan layanan pembelajaran dan pengayaan layanan pembelajaran.
D. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip perbaikan layanan pembelajaran.
E. Sekolah/Madrasah melaksanakan kurikulum tidak menggunakan prinsip tersebut.

5. Sekolah/Madrasah memiliki kurikulum muatan lokal yang penyusunannya melibatkan beberapa pihak.
A. Penyusunan kurikulum muatan lokal melibatkan guru, komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan, dinas pendidikan, dan instansi terkait di daerah.
B. Penyusunan kurikulum muatan lokal melibatkan guru, komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan, dan dinas pendidikan.
C. Penyusunan kurikulum muatan lokal melibatkan guru dan komite sekolah/madrasah atau penyelenggara lembaga pendidikan.
D. Penyusunan kurikulum muatan lokal hanya melibatkan guru.
E. Tidak menyusun kurikulum muatan lokal.

6. Sekolah/Madrasah memiliki program pengembangan diri dalam bentuk kegiatan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler.
A. Di samping kegiatan konseling, melaksanakan 4 (empat) jenis atau lebih program ekstrakurikuler.
B. Di samping kegiatan konseling, melaksanakan 3 (tiga) jenis program ekstrakurikuler.
C. Di samping kegiatan konseling, melaksanakan 2 (dua) jenis program ekstrakurikuler.
D. Di samping kegiatan konseling, melaksanakan 1 (satu) jenis program ekstrakurikuler.
E. Tidak melaksanakan kegiatan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler.


7. Sekolah/Madrasah memiliki beberapa mata pelajaran yang dilengkapi dokumen standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) untuk setiap mata pelajaran.
A. Sebanyak 13 (tiga belas) mata pelajaran atau lebih memiliki dokumen standar kompetensi dan kompetensi dasar.
B. Sebanyak 9 (sembilan) sampai dengan 12 (dua belas) mata pelajaran memiliki dokumen standar kompetensi dan kompetensi dasar.
C. Sebanyak 5 (lima) sampai dengan 8 (delapan) mata pelajaran memiliki dokumen standar kompetensi dan kompetensi dasar.
D. Sebanyak 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) mata pelajaran memiliki dokumen standar kompetensi dan kompetensi dasar.
E. Tidak ada satu pun mata pelajaran memiliki dokumen standar kompetensi dan kompetensi dasar.

8. Sekolah/Madrasah menerapkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan ketentuan beban belajar yang tertuang pada lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006.
A. Satu jam pembelajaran tatap muka selama 45 menit, jumlah jam pembelajaran per minggu minimal 38 jam, dan jumlah minggu efektif per tahun minimal 34 minggu.
B. Satu jam pembelajaran tatap muka selama 45 menit, jumlah jam pembelajaran per minggu minimal 38 jam, dan jumlah minggu efektif per tahun kurang dari 34 minggu.
C. Satu jam pembelajaran tatap muka selama 45 menit, jumlah jam pembelajaran per minggu kurang dari 38 jam, dan jumlah minggu efektif per tahun kurang dari 34 minggu.
D. Satu jam pembelajaran tatap muka kurang dari 45 menit, jumlah jam pembelajaran per minggu kurang dari 38 jam, dan jumlah minggu efektif per tahun kurang dari 34 minggu.
E. Tidak menerapkan ketentuan beban belajar yang ditetapkan Depdiknas.

9. Guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa.
A. Sebanyak 76% - 100% guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
B. Sebanyak 51% - 75% guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
C. Sebanyak 26% - 50% guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
D. Sebanyak 1% - 25% guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
E. Tidak ada seorang pun guru pelajaran memberikan penugasan terstruktur kepada siswa.

10. Guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu.
A. Sebanyak 76% - 100% guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
B. Sebanyak 51% - 75% guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
C. Sebanyak 26% - 50% guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
D. Sebanyak 1% - 25% guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu maksimal 60% dari alokasi waktu tiap mata pelajaran.
E. Tidak ada seorang pun guru pelajaran merancang tugas mandiri tidak terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu.

11. Pengembangan KTSP telah disahkan oleh Dinas Pendidikan yang bersangkutan atau Kanwil Depag/Kandepag.
A. Sebanyak 13 (tiga belas) silabus mata pelajaran atau lebih telah dikembangkan KTSP-nya.
B. Sebanyak 9 (sembilan) sampai dengan 12 (dua belas) silabus mata pelajaran telah dikembangkan KTSP-nya.
C. Sebanyak 5 (lima) sampai dengan 8 (delapan) silabus mata pelajaran telah dikembangkan KTSP-nya.
D. Sebanyak 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) silabus mata pelajaran telah dikembangkan KTSP-nya.
E. Tidak ada silabus mata pelajaran yang dikembangkan KTSP-nya.

12. Dalam mengembangkan KTSP, guru menyusun silabus sendiri.
A. Sebanyak 76% - 100% guru menyusun silabus sendiri.
B. Sebanyak 51% - 75% guru menyusun silabus sendiri.
C. Sebanyak 26% - 50% guru menyusun silabus sendiri.
D. Sebanyak 1% - 25% guru menyusun silabus sendiri.
E. Tidak ada seorang pun guru menyusun silabus sendiri.




13. Sekolah/Madrasah memiliki silabus untuk setiap mata pelajaran sesuai dengan panduan penyusunan KTSP.
A. Sebanyak 13 (tiga belas) mata pelajaran atau lebih memiliki silabus.
B. Sebanyak 9 (sembilan) sampai dengan 12 (dua belas) mata pelajaran memiliki silabus.
C. Sebanyak 5 (lima) sampai dengan 8 (delapan) mata pelajaran memiliki silabus.
D. Sebanyak 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) mata pelajaran memiliki silabus.
E. Tidak ada satu pun mata pelajaran memiliki silabus.

14. Guru mengembangkan silabus sesuai dengan langkah–langkah pada panduan penyusunan KTSP.
A. Sebanyak 76%-100% silabus mata pelajaran dikembangkan melalui 7 (tujuh) langkah.
B. Sebanyak 51%-75% silabus mata pelajaran dikembangkan melalui 7 (tujuh) langkah.
C. Sebanyak 26%-50% silabus mata pelajaran dikembangkan melalui 7 (tujuh) langkah.
D. Sebanyak 1%-25% silabus mata pelajaran dikembangkan melalui 7 (tujuh) langkah
E. Tidak mengikuti langkah-langkah pengembangan silabus.

15. Sekolah/Madrasah menjadwalkan awal tahun pelajaran, minggu efektif, pembelajaran efektif, dan hari libur pada kalender akademik yang dimiliki.
A. Menjadwalkan awal tahun pelajaran, minggu efektif, pembelajaran efektif, dan hari libur.
B. Menjadwalkan awal tahun pelajaran, minggu efektif, dan pembelajaran efektif.
C. Menjadwalkan awal tahun pelajaran dan minggu efektif.
D. Menjadwalkan awal tahun pelajaran.
E. Tidak memiliki kalender akademik.

II. STANDAR PROSES
16. Sekolah/Madrasah mengembangkan silabus secara mandiri atau cara lainnya berdasarkan standar isi, standar kompetensi lulusan, dan panduan penyusunan KTSP.
A. Mengembangkan silabus secara mandiri.
B. Mengembangkan silabus melalui kelompok guru mata pelajaran dalam sebuah sekolah/madrasah.
C. Mengembangkan silabus melalui kelompok guru dari beberapa sekolah/madrasah.
D. Mengembangkan silabus dengan mengadopsi contoh yang sudah ada.
E. Tidak mengembangkan silabus.


17. Setiap mata pelajaran memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.
A. Sebanyak 13 (tiga belas) mata pelajaran atau lebih memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.
B. Sebanyak 9 (sembilan) sampai 12 (dua belas) mata pelajaran memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.
C. Sebanyak 5 (lima) sampai 8 (delapan) mata pelajaran memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.
D. Sebanyak 1 (satu) sampai 4 (empat) mata pelajaran memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.
E. Tidak ada satu pun mata pelajaran memiliki RPP yang dijabarkan dari silabus.

18. Penyusunan RPP sudah memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
A. Sebanyak 76% - 100% RPP sudah memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
B. Sebanyak 51% - 75% RPP sudah memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
C. Sebanyak 26% - 50% RPP sudah memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
D. Sebanyak 1% - 25% RPP sudah memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
E. Tidak ada satu pun RPP memerhatikan prinsip perbedaan individu siswa, mendorong partisipasi aktif siswa, dan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.

19. Sekolah/Madrasah melaksanakan proses pembelajaran dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
A. Memenuhi 4 (empat) persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran.
B. Memenuhi 3 (tiga) persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran.
C. Memenuhi 2 (dua) persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran.
D. Memenuhi 1 (satu) persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran.
E. Tidak memenuhi persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran.





20. Proses pembelajaran di sekolah/madrasah dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
A. Sebanyak 76% - 100% guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
B. Sebanyak 51% - 75% guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
C. Sebanyak 26% - 50% guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
D. Sebanyak 1% - 25% guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
E. Tidak ada seorang pun guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.

21. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan oleh kepala sekolah/ madrasah mencakup tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian hasil pembelajaran.
A. Mencakup 3 (tiga) tahap pemantauan serta dilakukan diskusi hasil pemantauan.
B. Mencakup 3 (tiga) tahap pemantauan tanpa dilakukan diskusi hasil pemantauan.
C. Mencakup 2 (dua) tahap pemantauan.
D. Mencakup 1 (satu) tahap pemantauan.
E. Tidak pernah melakukan pemantauan.

22. Supervisi proses pembelajaran dilakukan oleh kepala sekolah/madrasah dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.
A. Melakukan supervisi proses pembelajaran melalui 4 (empat) cara.
B. Melakukan supervisi proses pembelajaran melalui 3 (tiga) cara.
C. Melakukan supervisi proses pembelajaran melalui 2 (dua) cara.
D. Melakukan supervisi proses pembelajaran melalui 1 (satu) cara.
E. Tidak melakukan supervisi.

23. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan oleh kepala sekolah/madrasah.
A. Dengan memerhatikan 2 (dua) aspek evaluasi yaitu proses pembelajaran dan kinerja guru.
B. Dengan memerhatikan 1 (satu) aspek evaluasi yaitu proses pembelajaran.
C. Dengan memerhatikan 1 (satu) aspek evaluasi yaitu kinerja guru.
D. Evaluasi dilakukan tetapi tidak memerhatikan kedua aspek evaluasi.
E. Tidak ada proses evaluasi.

24.Kepala sekolah/madrasah melaporkan pengawasan proses pembelajaran kepada pemangku kepentingan.
A. Pengawasan dilaporkan kepada yang bersangkutan, dewan guru, dan pengawas sekolah/madrasah.
B. Pengawasan dilaporkan kepada yang bersangkutan dan dewan guru.
C. Pengawasan dilaporkan kepada yang bersangkutan saja.
D. Tidak dilaporkan.
E. Tidak melakukan pengawasan.

25. Kepala sekolah/madrasah melakukan tindak lanjut terhadap hasil pengawasan proses pembelajaran.
A. Sebanyak 76% - 100% hasil pengawasan selama satu tahun terakhir dilakukan tindak lanjut.
B. Sebanyak 51% - 75% hasil pengawasan selama satu tahun terakhir dilakukan tindak lanjut.
C. Sebanyak 26% - 50% hasil pengawasan selama satu tahun terakhir dilakukan tindak lanjut.
D. Sebanyak 1% - 25% hasil pengawasan selama satu tahun terakhir dilakukan tindak lanjut.
E. Tidak ada satu pun hasil pengawasan ditindaklanjuti.

III. STANDAR KOMPETENSI LULUSAN

26. Siswa memperoleh pengalaman belajar untuk menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan.
A. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran kelompok iptek ditetapkan 75,0 atau lebih.
B. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran kelompok iptek ditetapkan 70,0 sampai 74,9.
C. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran kelompok iptek ditetapkan 65,0 sampai 69,9.
D. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran kelompok iptek ditetapkan 60,0 sampai 64,9.
E. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran kelompok iptek ditetapkan kurang dari 60.

27. Siswa terlibat dalam kegiatan belajar yang berkaitan dengan analisis dan pemecahan masalah-masalah kompleks.
A. Sekolah/madrasah menjalankan kegiatan siswa yang dapat menganalisis dan memecahkan masalah-masalah kompleks sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/madrasah menjalankan kegiatan siswa yang dapat menganalisis dan memecahkan masalah-masalah kompleks sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/madrasah menjalankan kegiatan siswa yang dapat menganalisis dan memecahkan masalah-masalah kompleks sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/madrasah menjalankan kegiatan siswa yang dapat menganalisis dan memecahkan masalah-masalah kompleks sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan siswa yang dapat menganalisis dan memecahkan masalah-masalah kompleks.

28. Siswa memperoleh pengalaman belajar yang dapat menganalisis gejala alam dan sosial.
A. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran IPA dan IPS ditetapkan 75,0 atau lebih.
B. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran IPA dan IPS ditetapkan 70,0 sampai 74,9.
C. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran IPA dan IPS ditetapkan 65,0 sampai 69,9.
D. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran IPA dan IPS ditetapkan 60,0 sampai 64,9.
E. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran IPA dan IPS ditetapkan kurang dari 60.

29. Siswa memperoleh pengalaman belajar dalam kelompok mata pelajaran iptek secara efektif.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa dengan memanfaatkan dan memfungsikan sumber belajar meliputi bahan ajar, buku teks, perpustakaan, laboratorium, dan internet.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa dengan memanfaatkan dan memfungsikan sumber belajar meliputi bahan ajar, buku teks, perpustakaan, dan laboratorium.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa dengan memanfaatkan dan memfungsikan sumber belajar meliputi bahan ajar, buku teks, dan perpustakaan.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa dengan memanfaatkan dan memfungsikan sumber belajar meliputi bahan ajar dan buku teks.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memfasilitasi kegiatan siswa dengan sumber belajar.

30. Siswa memperoleh pengalaman belajar melalui program pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar.
A. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan pembiasaan untuk mencari informasi/pengetahuan lebih lanjut dari berbagai sumber belajar.

31. Siswa memperoleh pengalaman belajar yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab.
A. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan pembelajaran yang mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab.

32. Siswa memperoleh pengalaman mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memfasilitasi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya.

33. Siswa memperoleh pengalaman mengapresiasikan karya seni dan budaya.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk mengapresiasikan karya seni dan budaya sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk mengapresiasikan karya seni dan budaya sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk mengapresiasikan karya seni dan budaya sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk mengapresiasikan karya seni dan budaya sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memfasilitasi kegiatan siswa untuk mengapresiasikan karya seni dan budaya.

34. Siswa memperoleh pengalaman belajar untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab.
A. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan kesiswaan guna menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan kesiswaan guna menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan kesiswaan guna menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan kesiswaan guna menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan kesiswaan guna menumbuhkan dan mengembangkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab.



35. Siswa memperoleh pengalaman belajar untuk berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial.
A. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan penegakan aturan-aturan sosial sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan penegakan aturan-aturan sosial sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan penegakan aturan-aturan sosial sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan penegakan aturan-aturan sosial sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan penegakan aturan-aturan sosial.

36. Siswa memperoleh pengalaman belajar yang mampu menumbuhkan sikap kompetitif untuk mendapatkan hasil terbaik.
A. Sekolah/Madrasah memberikan penghargaan bagi juara sekolah/madrasah, juara jurusan, juara kelas, dan juara mata pelajaran.
B. Sekolah/Madrasah memberikan penghargaan bagi juara sekolah/madrasah, juara jurusan, dan juara kelas.
C. Sekolah/Madrasah memberikan penghargaan bagi juara sekolah/madrasah dan juara kelas.
D. Sekolah/Madrasah memberikan penghargaan bagi juara sekolah/madrasah.
E. Sekolah/Madrasah tidak memberikan penghargaan bagi juara.

37. Siswa memperoleh pengalaman belajar yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik.
A. Sekolah/Madrasah memberikan layanan pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah memberikan layanan pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah memberikan layanan pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah memberikan layanan pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memberikan layanan pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap sportif untuk mendapatkan hasil terbaik.

38. Siswa memperoleh pengalaman belajar yang dapat melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah NKRI.
A. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah menjalankan kegiatan pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah menjalankan kegiatan pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis.

39. Siswa memperoleh pengalaman belajar untuk membentuk karakter siswa, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan.
A. Sekolah/Madrasah melaksanakan program bagi siswa untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah melaksanakan program bagi siswa untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah melaksanakan program bagi siswa untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah melaksanakan program bagi siswa untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak melaksanakan program bagi siswa untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa sportivitas, dan kebersihan lingkungan.

40. Siswa memperoleh pengalaman belajar melalui pembiasaan untuk memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
A. Sebanyak 76% - 100% silabus khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS memuat kegiatan pembelajaran dalam kemampuan memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
B. Sebanyak 51% - 75% silabus khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS memuat kegiatan pembelajaran dalam kemampuan memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
C. Sebanyak 26% - 50% silabus khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS memuat kegiatan pembelajaran dalam kemampuan memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
D. Sebanyak 1% - 25% silabus khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS memuat kegiatan pembelajaran dalam kemampuan memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
E. Tidak ada satu pun silabus khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS memuat kegiatan pembelajaran dalam kemampuan memahami hak dan kewajiban orang lain dalam pergaulan di masyarakat.

41. Siswa memperoleh pengalaman belajar melalui kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia yang bersifat afektif.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi 4 (empat) jenis atau lebih kegiatan pembiasaan dan pengamalan ajaran agama.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi 3 (tiga) jenis kegiatan pembiasaan dan pengamalan ajaran agama.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi 2 (dua) jenis kegiatan pembiasaan dan pengamalan ajaran agama.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi 1 (satu) jenis kegiatan pembiasaan dan pengamalan ajaran agama.
E. Sekolah/Madrasah tidak melaksanakan kegiatan pembiasaan dan pengamalan ajaran agama.

42.Siswa memperoleh pengalaman belajar untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global.
A. Sekolah/Madrasah melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Tidak ada kegiatan pembelajaran untuk menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global. hal. /66 19

43. Siswa memperoleh pengalaman belajar dalam pembentukan akhlak mulia melalui pembiasaan dan pengamalan.
A. Ada kegiatan pembentukan akhlak mulia melalui program pengembangan diri sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih setiap minggu.
B. Ada kegiatan pembentukan akhlak mulia melalui program pengembangan diri sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali setiap minggu.
C. Ada kegiatan pembentukan akhlak mulia melalui program pengembangan diri sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali setiap minggu.
D. Ada kegiatan pembentukan akhlak mulia melalui program pengembangan diri sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali setiap minggu.
E. Tidak ada kegiatan pembentukan akhlak mulia melalui program pengembangan diri.

44. Siswa memperoleh pengalaman belajar melalui program pembiasaan untuk menghargai perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain.
A. Sebanyak 76% - 100% kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi, kerja kelompok, dan persaingan sehat.
B. Sebanyak 51% - 75% kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi, kerja kelompok, dan persaingan sehat.
C. Sebanyak 26% - 50% kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi, kerja kelompok, dan persaingan sehat.
D. Sebanyak 1% - 25% kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi, kerja kelompok, dan persaingan sehat.
E. Tidak ada kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi, kerja kelompok, dan persaingan sehat.

45. Siswa memperoleh pengalaman dalam menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memfasilitasi kegiatan siswa untuk menghasilkan karya kreatif baik individual maupun kelompok.

46. Siswa memperoleh pengalaman dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun.
A. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah memfasilitasi kegiatan siswa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak memfasilitasi kegiatan siswa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif dan santun.

47. Siswa memperoleh keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis.
A. Tersedianya kumpulan karya tulis siswa baik dari penugasan maupun lomba, laporan hasil kunjungan karya wisata/studi lapangan, majalah dinding, dan buletin siswa internal sekolah/madrasah.
B. Tersedianya kumpulan karya tulis siswa baik dari penugasan maupun lomba, laporan hasil kunjungan karya wisata/studi lapangan, dan majalah dinding.
C. Tersedianya kumpulan karya tulis siswa baik dari penugasan maupun lomba, dan laporan hasil kunjungan karya wisata/studi lapangan.
D. Tersedianya kumpulan karya tulis siswa baik dari penugasan maupun lomba.
E. Tidak tersedia kumpulan karya tulis siswa.

48. Siswa memperoleh keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
A. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ditetapkan 75,0 atau lebih.
B. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ditetapkan 70,0 sampai 74,9.
C. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ditetapkan 65,0 sampai 69,9.
D. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ditetapkan 60,0 sampai 64,9.
E. Rata-rata nilai ketuntasan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ditetapkan kurang dari 60.


49. Siswa memperoleh pengalaman belajar dalam mengembangkan iptek seiring dengan perkembangannya.
A. Sekolah/Madrasah memberikan layanan dalam pengembangan iptek sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu tahun terakhir.
B. Sekolah/Madrasah memberikan layanan dalam pengembangan iptek sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu tahun terakhir.
C. Sekolah/Madrasah memberikan layanan dalam pengembangan iptek sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu tahun terakhir.
D. Sekolah/Madrasah memberikan layanan dalam pengembangan iptek sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu tahun terakhir.
E. Sekolah/Madrasah tidak pernah memberikan layanan dalam pengembangan iptek.

50. Siswa memperoleh pengalaman belajar agar menguasai pengetahuan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
A. Sekolah/Madrasah melakukan kegiatan untuk menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi sebanyak 4 (empat) jenis dan/atau 4 (empat) kali atau lebih dalam satu semester.
B. Sekolah/Madrasah melakukan kegiatan untuk menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi sebanyak 3 (tiga) jenis dan/atau 3 (tiga) kali dalam satu semester.
C. Sekolah/Madrasah melakukan kegiatan untuk menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi sebanyak 2 (dua) jenis dan/atau 2 (dua) kali dalam satu semester.
D. Sekolah/Madrasah melakukan kegiatan untuk menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi sebanyak 1 (satu) jenis dan/atau 1 (satu) kali dalam satu semester.
E. Sekolah/Madrasah tidak melakukan kegiatan untuk menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi.

IV. STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
51. Guru memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV).
A. Sebanyak 76% - 100% guru berpendidikan minimum S1 atau D-IV.
B. Sebanyak 51% - 75% guru berpendidikan minimum S1 atau D-IV.
C. Sebanyak 26% - 50% guru berpendidikan minimum S1 atau D-IV.
D. Sebanyak 1% - 25% guru berpendidikan minimum S1 atau D-IV.
E. Tidak ada seorang pun guru berpendidikan minimum S1 atau D-IV.


52. Guru pelajaran mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
A. Sebanyak 76% - 100% guru pelajaran memiliki kesesuaian antara mata pelajaran yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.
B. Sebanyak 51% - 75% guru pelajaran memiliki kesesuaian antara mata pelajaran yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.
C. Sebanyak 26% - 50% guru pelajaran memiliki kesesuaian antara mata pelajaran yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.
D. Sebanyak 1% - 25% guru pelajaran memiliki kesesuaian antara mata pelajaran yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.
E. Tidak ada seorang pun guru pelajaran memiliki kesesuaian antara mata pelajaran yang diampu dengan latar belakang pendidikannya.

53. Guru sehat jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas mengajar.
A. Sebanyak 76% - 100% guru hadir untuk menjalankan tugas mengajar dalam satu semester terakhir.
B. Sebanyak 51% - 75% guru hadir untuk menjalankan tugas mengajar dalam satu semester terakhir.
C. Sebanyak 26% - 50% guru hadir untuk menjalankan tugas mengajar dalam satu semester terakhir.
D. Sebanyak 1% - 25% guru hadir untuk menjalankan tugas mengajar dalam satu semester terakhir.
E. Tidak ada seorang pun guru hadir untuk menjalankan tugas mengajar dalam satu semester terakhir.

54. Guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.
A. Sebanyak 76% - 100% guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.
B. Sebanyak 51% - 75% guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.
C. Sebanyak 26% - 50% guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.
D. Sebanyak 1% - 25% guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.
E. Tidak ada seorang pun guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran.

55. Guru memiliki integritas kepribadian dan bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku.
A. Semua guru bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku.
B. Ada guru yang melanggar norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku; dan telah dikenai sanksi yang sepadan seperti dibebastugaskan dari mengajar atau dikeluarkan.
C. Ada guru yang melanggar norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku namun diberi kesempatan memperbaiki diri dan dilakukan pembinaan.
D. Ada guru yang melanggar norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku namun hanya diberikan peringatan tertulis.
E. Ada guru yang melanggar norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan yang berlaku namun tidak diberikan sanksi apa pun.

56. Guru berkomunikasi secara efektif dan santun dengan sesama guru, tenaga kependidikan, dan orangtua siswa.
A. Adanya rapat dewan guru, rapat antara guru dan kepala sekolah/madrasah, guru dan komite sekolah/madrasah, serta pertemuan antara guru dan orangtua siswa.
B. Adanya rapat dewan guru, rapat antara guru dan kepala sekolah/madrasah, serta guru dan komite sekolah/madrasah.
C. Adanya rapat dewan guru serta rapat antara guru dan kepala sekolah/madrasah.
D. Adanya rapat dewan guru.
E. Tidak pernah diadakan rapat.

57. Guru menguasai materi pelajaran yang diampu serta mengembangkannya dengan metode ilmiah.
A. Adanya kesesuaian antara latar belakang kompetensi guru dengan mata pelajaran yang diampu dengan pengalaman mengajar rata-rata di atas 9 tahun.
B. Adanya kesesuaian antara latar belakang kompetensi guru dengan mata pelajaran yang diampu dengan pengalaman mengajar rata-rata antara 7 sampai dengan 9 tahun.
C. Adanya kesesuaian antara latar belakang kompetensi guru dengan mata pelajaran yang diampu dengan pengalaman mengajar rata-rata antara 4 sampai dengan 6 tahun.
D. Adanya kesesuaian antara latar belakang kompetensi guru dengan mata pelajaran yang diampu dengan pengalaman mengajar rata-rata 3 tahun atau kurang.
E. Tidak ada kesesuaian antara latar belakang kompetensi guru dengan mata pelajaran yang diampu.

58. Kepala sekolah/madrasah berstatus sebagai guru, memiliki sertifikat pendidik, dan Surat Keputusan (SK) sebagai kepala sekolah/madrasah.
A. Berstatus sebagai guru, memiliki sertifikat pendidik, dan memiliki SK sebagai kepala sekolah/madrasah.
B. Berstatus sebagai guru, tidak memiliki sertifikat pendidik, tetapi memiliki SK sebagai kepala sekolah/madrasah.
C. Berstatus sebagai guru, memiliki sertifikat pendidik, tetapi tidak memiliki SK sebagai kepala sekolah/madrasah.
D. Tidak berstatus sebagai guru, tidak memiliki sertifikat pendidik, tetapi memiliki SK sebagai kepala sekolah/ madrasah.
E. Tidak berstatus sebagai guru, tidak memiliki sertifikat pendidik, dan tidak memiliki SK sebagai kepala sekolah/madrasah.

59. Kepala sekolah/madrasah memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV).
A. Memiliki kualifikasi akademik minimum S1 atau D-IV kependidikan dikeluarkan oleh perguruan tinggi terakreditasi.
B. Memiliki kualifikasi akademik minimum S1 atau D-IV Kependidikan dikeluarkan oleh perguruan tinggi tidak terakreditasi.
C. Memiliki kualifikasi akademik minimum S1 atau D-IV nonkependidikan dikeluarkan oleh perguruan tinggi terakreditasi.
D. Memiliki kualifikasi akademik minimum S1 atau D-IV nonkependidikan dikeluarkan oleh perguruan tinggi tidak terakreditasi.
E. Tidak memiliki kualifikasi akademik minimum yang dipersyaratkan.

60. Kepala sekolah/madrasah memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun.
A. Memiliki pengalaman mengajar 5 (lima) tahun atau lebih.
B. Memiliki pengalaman mengajar 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) tahun.
C. Memiliki pengalaman mengajar 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) tahun.
D. Memiliki pengalaman mengajar 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun.
E. Memiliki pengalaman mengajar kurang dari 1 (satu) tahun.

61. Kepala sekolah/madrasah memiliki kemampuan manajerial yang ditunjukkan dengan keberhasilan mengelola siswa.
A. Sebanyak 76% - 100% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi pada dua tahun terakhir.
B. Sebanyak 51% - 75% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi pada dua tahun terakhir.
C. Sebanyak 26% - 50% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi pada dua tahun terakhir.
D. Sebanyak 1% - 25% lulusan diterima di perguruan tinggi terakreditasi pada dua tahun terakhir.
E. Tidak ada seorang pun lulusan yang diterima di perguruan tinggi terakreditasi pada dua tahun terakhir.



62. Kepala sekolah/madrasah memiliki kemampuan kewirausahaan yang ditunjukkan antara lain dengan adanya naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sebagai sumber belajar siswa.
A. Mampu menggalang dana pengembangan kegiatan ekstrakurikuler secara mandiri sebanyak 76% - 100% dari dana ekstrakurikuler dalam Rencana Kerja Sekolah/ Madrasah (RKS/M).
B. Mampu menggalang dana pengembangan kegiatan ekstrakurikuler secara mandiri sebanyak 51% - 75% dari dana ekstrakurikuler dalam RKS/M.
C. Mampu menggalang dana pengembangan kegiatan ekstrakurikuler secara mandiri sebanyak 26% - 50% dari dana ekstrakurikuler dalam RKS/M.
D. Mampu menggalang dana pengembangan kegiatan ekstrakurikuler secara mandiri sebanyak 1% - 25% dari dana ekstrakurikuler dalam RKS/M.
E. Tidak mampu menggalang dana pengembangan kegiatan ekstrakurikuler secara mandiri.

63. Kepala sekolah/madrasah melakukan supervisi dan monitoring.
A. Melakukan supervisi dan monitoring secara terencana dengan implementasi sebanyak 76% - 100% dari kegiatan monitoring yang direncanakan dalam RKS/M.
B. Melakukan supervisi dan monitoring secara terencana dengan implementasi sebanyak 51% - 75% dari kegiatan monitoring yang direncanakan dalam RKS/M.
C. Melakukan supervisi dan monitoring secara terencana dengan implementasi sebanyak 26% - 50% dari kegiatan monitoring yang direncanakan dalam RKS/M.
D. Melakukan supervisi dan monitoring secara terencana dengan implementasi sebanyak 1% - 25% dari kegiatan monitoring yang direncanakan dalam RKS/M.
E. Tidak melakukan supervisi dan monitoring.

64. Tenaga administrasi minimum memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.
A. Sebanyak 76% - 100% tenaga administrasi memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.
B. Sebanyak 51% - 75% tenaga administrasi memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.
C. Sebanyak 26% - 50% tenaga administrasi memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.
D. Sebanyak 1% - 25% tenaga administrasi memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.
E. Tidak ada seorang pun tenaga administrasi memiliki kualifikasi akademik pendidikan menengah atau yang sederajat.

65. Tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
A. Sebanyak 76% - 100% tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
B. Sebanyak 51% - 75% tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
C. Sebanyak 26% - 50% tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
D. Sebanyak 1% - 25% tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
E. Tidak ada seorang pun tenaga administrasi memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.

66. Tenaga perpustakaan minimum memiliki kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan.
A. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 2 (dua) orang, keduanya memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-I).
B. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 2 (dua) orang, salah satu di antaranya memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-I).
C. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 1 (satu) orang dan memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-I).
D. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 1 (satu) orang dan tidak memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-I).
E. Sekolah/Madrasah tidak memiliki tenaga perpustakaan.

67. Tenaga perpustakaan memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
A. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 2 (dua) orang, keduanya sesuai dengan tugasnya.
B. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 2 (dua) orang, salah satu di antaranya sesuai dengan tugasnya.
C. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 1 (satu) orang dan sesuai dengan tugasnya.
D. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga perpustakaan minimal 1 (satu) orang dan tidak sesuai dengan tugasnya.
E. Sekolah/Madrasah tidak memiliki tenaga perpustakaan.

68. Tenaga laboratorium memiliki kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan.
A. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 2 (dua) orang, keduanya memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-1)
B. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 2 (dua) orang, salah satu di antaranya memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-1).
C. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 1 (satu) orang dan memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-1).
D. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 1 (satu) orang dan tidak memenuhi kualifikasi Diploma satu (D-1).
E. Sekolah/Madrasah tidak memiliki tenaga laboratorium.

69. Tenaga laboratorium memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan tugasnya.
A. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 2 (dua) orang, keduanya sesuai dengan tugasnya.
B. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 2 (dua) orang, salah satu di antaranya sesuai dengan tugasnya.
C. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 1 (satu) orang dan sesuai dengan tugasnya.
D. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga laboratorium minimal 1 (satu) orang dan tidak sesuai dengan tugasnya.
E. Sekolah/Madrasah tidak memiliki tenaga laboratorium.

70. Sekolah/Madrasah memiliki tenaga layanan khusus.
A. Memiliki 4 (empat) jenis atau lebih tenaga layanan khusus.
B. Memiliki 3 (tiga) jenis tenaga layanan khusus.
C. Memiliki 2 (dua) jenis tenaga layanan khusus.
D. Memiliki 1 (satu) jenis tenaga layanan khusus.
E. Tidak memiliki satupun tenaga layanan khusus.